AKSI SUNYI
Oleh : Feri Mahdi Selian
Dalam sunyi, seruan berarak merasuki benak seluruh aktivis diruangan itu. Dalam sunyi, mereka semua gelisah dan geram. Dalam sunyi, semua mengepal tangan. Tapi bel tak kunjung berdering. Konsentrasi hamper buyar. Seperti ombak menerpa karang. Pecah. Kocar-kacir. Tapi belumlah seperti pecahnya kaca. Yang tak mungkin diatur kembali.
Setiap kali pikiran terbentur. Tentang saudara mereka yang tertindas, terusir, kelaparan, atau terpenjara. Jiwa-jiwa mereka terbakar.berteriak dalam sunyi walau tak berdaya.
"Hidup bukan sendiri, kawan!" coretan disudut tembok menuju kampus.
Mata-mata mereka awas, walau itu terlarang. Walau itu tak mungkin mereka rongrong. Karena terikat pada tali-tali yang mereka ikatkan sendiri. Mereka akan hilang bila teriak. Mereka akan tamat prematur bila turut membela. Atau turut serta dalam upaya mengusung seorang pemimpin diatas usungan keadilan dan asas pembelaan. Pembelaan terhadap orang-orang yang patut dikasihani.
"Saatnya yang muda memimpin!" teriak poster yang tertempel dideretan tiang-tiang listrik hitam terkena polusi kota.
Tapi masa ini yang muda terkekang. Yang terhasut pecah karena perbedaan alur pikiran.yang muda terancam perang; karena genderang kelompok yang dibesar-besarkan.
Edisi 3 Mei Tahun 2008 |
|
"Dimana kau wahai pemuda!" pekik aktivis didinding rumahnya yang penuh poster perjuangan dalam coretan berwarna merah. Menggambarkan keberanian. Walau masih bersembunyi dalam sunyinya ruangan
Aktivis terbelalak matanya mendengar suara lantang nan berwibawa. Menyeru agar menjauhi pembelaan terhadap bangsa dan anak bangsa. Menyeru agar lari dari kenyataan bahwa kita perlu melawan, bahwa kita harus berbaur dan berteriak menyampaikan keberatan atas harga sembako. Dan dikekang turut serta dalam pembuatan kebijakan mengarahkan negeri.
"Kita punya tangan, tapi kemana tangan kita?" bisik-bisik aktivis diruangan itu.
"Kita punya mulut, tapi kita bisu. Kita punya otak tapi terendam dipalung laut antartika agar beku tak bergerak"
Dada aktivis terasa sesak. Ingin berteriak tapi tak berani. Ingin memberontak tapi terlarang. Ingin…ingin…ingin… tapi…tapi…dan tapi. Kapankah ada keberanian.
"Oh! Saat bel berdering, anakku!" jawab seorang tua berjenggot putih. Bersongkok melayu.
"Setelah bel bedering, jadilah dirimu yang sesungguhnya. Kami menunggu teriakanmu didepan gedung wakil rakyat atau dari dalam gedung rakyat"
Bel pun berdering. Orang-orang berebut keluar dengan wajah berseri, tersenyum, tertawa, cemberut, merengut, beku dingin atau pucat seperti mayat. Orang-orang punya kesibukan sendiri setelah ini. Tentang diri mereka, tentang istri mereka, tentang anak-anak mereka. Tapi sang aktivis berjalan lunglai. Berdiri sejenak didepan pintu. Mendengar azan yang dayu mendayu. Dia berpikir: "setiap saat suara ini menggema dilangit. Tapi apakah setiap saat juga yang dipuji disana mendapatkan haknya? Tentang perintah dan larangan, tentang kerajaan yang dikuasainya. Dia selalu memberi waktu untuk berkata "padamu berserah" tapi belum juga terkata" aktivis menggeleng dan pergi.
Pepatah "hidup hanya sekali" adalah benar. Tapi "hidup berguna" bagi siapa? Bagimu? Ataukah nyawa-nyawa disekitarmu? Aktivis mewanti diri, bahwa dia harus berguna. Dan tetap berteriak. Seperti kata seorang tua berjenggot putih, bersongkok melayu.
Aktivis tersadar, kalau bel sudah lama berakhir. Berjam-jam yang lalu. Dia ingin membuktikan, apakah masih ada keberanian. Atau sudah hilang karena pudar.
Edisi 3 Mei Tahun 2008 |
Tapi, ternyata dia memang tak berani. Karena seluruh bel berdering masih berdering. Karena seluruh ikatan tali masih menali, dan para penjarah keberanian menari-nari diujung kelopak matanya.
"Oh ia aku terlupa" ucapnya suatu petang setelah bangun tidur. Sambil mengusap wajah dan membersihkan mata dia segera membersihkan diri dan pakaian. Meraih tas dan segera meluncur. Menuju perkampungan kumuh. Dimana dia dinanti oleh banyak orang yang membutuhkannya. Tapi dia terlambat beberapa menit saja.
"Maafkan kakak karena terlambat!" pintanya pada orang-orang. Tapi tak ada tanggapan. Mereka asik saja berbincang, bercerita dan bergurau. Ada yang berkelakar tentang botol air mineral yang berubah menjadi emas, lalu tertawa. Ada yang menangis karena berantam. Dasar anak kecil, memang seperti ini.
Aktivis pulang dengan perut lapar dan kini dia puas karena bisa berteriak dalam sunyi. Dia bisa menghalau dalam sepi menjadi berguna bagi yang lain. Disamping berguna bagi diri sendiri. Dia terus berjalan dan terus berjalan dalam senyum. Dalam kelapangan dada. Dalam suasana suka.
Tapi itu tak lama. Saat sang aktivis harus berpapasan, dengan seorang anak yang berwajah hitam. Berpakain, tapi bukan pakain. Badan kurusnya serupa anak-anak Ethiopia yang kelaparan. Dia kembali terpaku dan berdiri beku. Untuk apa dia ada tapi tak berguna, vonis dalam hati.
Ah, terlalu banyak orang susah dinegeri ini. Tanaman-tanaman mati kering dipinggir irigasi. Hatinya menjadi sedikit tenang saat itu. Diapun terus berjalan. Tapi setiap langkah membuat jarak. Selalu didapati orang yang sama. Orang-orang dengan wajah gelap. Hatinya menjadi tak tenang. Ternyata dia sangat tak berguna.
Belpun berbunyi lagi.
"Hidup tak sendiri kawan!"
"Kita butuh kepala-kepala cair."
"Kita harus bisa berguna" tekad aktivis. dan menyusuri lorong tembok yang penuh coretan dengan tenang. Menuju kampus.