
Al-Ustadz Muhamad Al-Khatib :
“Allah tidak akan pernah meninggalkan kami..”
Pertarungan antara kebenaran dan kebatilan merupakan sebuah keniscayaan. Pertempuran ini telah dimulai sejak diciptakannya manusia pertama Nabiyullah Adam –‘alahissalâm- dan akan terus berlanjut sampai hari kiamat. Pertempuran ini adalah pertempuran antara Habil dan Qabil, antara Ibrahim dan Namrudz, antara Musa dan Fir’aun dan antara Muhammad dan Abu Jahal.
Jatipadang - Pada Rabu malam kamis, 4 April 2012 aula Masjid Al-Ikhlash Jatipadang dipadati oleh ratusan Mahasiswa dan Mahasiswi LIPIA Jakarta yang ingin mengikuti Seminar Internasional Jilid II dengan tema : “Menyoal Kondisi Ummat Islam Syria di tengah Konflik yang Membara”. Acara ini merupakan seminar yang diadakan oleh gabungan beberapa organisasi maupun forum daerah di LIPIA, yaitu LDK Al-Fatih, KAMMI Komisariat LIPIA, FoSKI Jawa Timur dan FORMALIS Sulawesi. Narasumber pada acara ini adalah Al-Ustadz Muhammad Al-Khâthib, salah seorang dosen di LIPIA Jakarta asal Suriah.
Setelah shalat isya’ para peserta dari berbagai mustawa dan ‘lintas madzhab’ mulai berbondong-bondong menuju Masjid Al-Ikhlash, baik dari wilayah Gang Wira, Jalan Ketapang, Jl. H. Asnawi, Mangga Besar, Jatipadang maupun dari wilayah-wilayah lain tempat bermukimnya para mahasiswa LIPIA. Sebelum acara inti dibuka ada sedikit pengumuman dari perwakilan KAMMI Komisariat LIPIA yang mengumumkan mengenai kegiatan-kegiatan yang akan mereka adakan sebagai penyemarak MUSKOM XII.
Selang beberapa menit kemudian, sekitar pukul 20.30 WIB acara pun dibuka oleh MC Najmu Fuady. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an Oleh Rifa Arifin. Setelah itu acara pun masuk ke bagian inti yang membahas permasalahan Suriah ini. Acara yang dimoderatori oleh Ujang Supriadi ini pun dimulai. Al-Ustadz Khatib membuka perbincangan dengan menyampaikan sebuah do’a untuk penduduk Suriah dan Ummat Islam pada umumnya. Setelah itu beliau menjelaskan tentang kondisi dan fakta-fakta mengenai konflik di Suriah.
Di antara fakta-fakta yang beliau ungkapkan adalah bahwa semua berita yang kita dengar tentang konflik di Suriah, baik dari media cetak maupun elektronik hanyalah merupakan sebagian kecil saja dari kenyataan yang sebenarnya terjadi. Misalnya tentang jumlah korban meninggal yang dicatat oleh PBB mencapai sekitar 10.000 jiwa, padahal jumlah sebenarnya adalah mencapai 30.000 jiwa lebih. Fakta lain adalah dalam beberapa bulan terakhir penduduk di beberapa kota di Suriah sudah tidak mendapatkan pasokan listrik lagi.
Kemudian, tentang sikap berlebihan tentara pemerintah dalam melakukan serangan kepada penduduk dengan dalih bahwa ada kelompok bersenjata atau para teroris yang ada di masyarakat. Beliau menceritakan, bahkan di sebuah desa di Suriah yang luasnya mungkin tidak seluas wilayah Pasar Minggu terdapat 40 tank baja dengan alasan tadi. Padahal kenyataan yang sebenarnya mereka hanyalah masyarakat biasa yang dihadapi dengan kebrutalan, para tentara itu bahkan menghabisi penduduk tanpa pandang bulu. Baik wanita, orang tua maupun anak-anak mereka bunuh dengan sadis. Fakta lain yang cukup mencengangkan adalah bahwa 70 % dari anggaran negara Suriah ternyata dialokasikan untuk militer dan tentara.
Beliau juga menjelaskan Tentang Pemerintah yang memerintah di Suriah saat ini. Mereka didominasi oleh orang-orang dari kelompok Nushairiyah, salah satu kelompok Syi’ah yang condong kepada kelompok Kebatinan yang menyerupai agama Hindu maupun Syikh. Sedangkan presiden mereka sendiri, Bassar Al-Asad pemikirannya merupakan pemikiran sekuler yang didukung oleh partai yang berkuasa di sana saat ini yaitu Partai Sosialis Arab Ba’ats. Meskipun di antara para menterinya ada dari golongan ahlussunnah namun mereka rupanya tidak bisa berbuat banyak.
Sebenarnya penduduk Suriah tidak terlalu terkejut dengan perlakuan dari pemerintah mereka, karena mereka sudah paham tabiat dan perilaku mereka sejak lama. Bahkan sejak sebelum pemerintahan Bassar, yaitu ayahnya Hafidh Al-Assad yang memperlakukan mereka juga cukup kejam. Namun, sebenarnya membuat mereka bertanya-tanya adalah kurangnya kepedulian dari bangsa Arab maupun asing kepada mereka yang telah didholimi dan tidak bisa berbuat banyak. “Bukankah Suriah tidak ada bedanya dengan Tunisia, Mesir, Libia maupun Yaman. Suriah juga merupakan negeri islam, tetepi kenapa seakan-akan tidak ada yang mempedulikannya. Apakah karena perbatasan Suriah yang dekat dengan wilayah Israel sehingga mereka tidak mau berbuat banyak?” Ungkap beliau.
Mungkin ini adalah salah satu faktor penghambat. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Barat tidak berbuat apa-apa, mereka hanya memberikan seruan-seruan kosong seperti yang diungkapkan oleh Sarkozy presiden Perancis maupun Obama presiden Amerika Serikat. Mereka hanya menyerukan agar menghentikan peperangan di Suriah tetapi tidak mampu berbuat apa-apa. Bahkan sebenarnya perkataan mereka ‘Peperangan ini harus dihentikan’ merupakan perkataan yang janggal dan harus dikritisi. Karena sebenarnya di Suriah tidak ada peperangan, yang ada adalah Pemerintah yang membunuh dan menghabisi rakyatnya. Sehingga seharusnya seruan yang mereka serukan bukanlah seruan untuk menghentikan peperangan, namun seruan agar ‘Pemerintahan ini harus digulingkan’. Yang patut diperhatikan juga bahwa sebenarnya sejak lama pemerintahan Suriah mengatakan bahwa mereka akan menolong orang-orang islam yang ada di Palestina, sehingga mengalihkan 70% anggaran negara untuk militer. Tetapi pada prakteknya semua itu tidak terbukti dan justru digunakan untuk memerangi rakyatnya sendiri.
Di tengah penjelasannya beliau juga memaparkan tentang keistimewaan dari Suriah itu sendiri, diantaranya adalah bahwa Suriah atau secara umum Syam merupakan negeri yang merupakan tempat tinggal beberapa Sahabat Nabi, diantaranya adalah Khalid bin Walid yang dimakamkan di Himsh, Bilal bin Abi Rabah yang dimakamkan di Damaskus, serta beberapa Sahabat lain yang jumlahnya kurang lebih 25 orang. Beliau juga mengingatkan tentang hadits nabi yang mengatakan bahwa Syam merupakan negeri dimana akan terjadinya Perang Besar Akhir Zaman (Al-Malhamah Al-Kubra), serta tempat turunnya Imam Mahdi dan Nabi Isa –‘Alaihissalam-.
Sebelum menutup penjelasannya beliau kembali membahas tentang kurangnya kepedulian bangsa Arab dan ummat islam pada umumnya kepada penduduk Suriah. Dan beliau juga mengungkapkan keheranannya dengan salah satu kelompok militer di Libanon yaitu Hizbullah yang bermadzhad syi’ah, yang megaku bisa mengalahkan Israel dan memiliki kekuatan besar. Begitu juga kepada Iran yang mengaku merupakan Republik Islam dan menjadi penentang utama Israel dan Barat. Namun dibalik semua pengakuannya ini mereka justru mendukung pemerintahan Suriah untuk menghabisi nyawa rakyat yang tidak berdaya.
Tetapi menurut beliau, sebenarnya semua itu bukan merupakan masalah besar, “Seorang muslim hanya memiliki dua pilihan : Hidup bahagia di dunia atau Mati Syahid. Menganai mati syahid sendiri, itu sebenarnya bukanlah kematian, karena definisi mati syahid bagi seorang mujahid adalah kehidupan lain yang lebih kekal dan abadi.” Ungkap beliau. Beliau juga kembali dan sekali lagi menegaskan bahwa yang terjadi di Suriah bukanlah perang antara dua kelompok yang bertikai, namun merupakan peperangan pemerintah kepada masyarakatnya. Di antaranya ada sebuah kejadian yang sangat memilukan, bahwa di sebuah desa ada beberapa bangunan yang dibakar ketika di dalamnya ada anak-anak yang tidak berdosa menjerit ketakutan sementara di luar justru tentara-tentara yang membakar tertawa dan bersenang-senang. Anak-anak itu pun terbakar hidup-hidup. –na’udzubillah-
Pada sesi tanya jawab ada peserta yang menanyakan apa peran dari ulama’ yang ada di Suriah terhadap revolusi yang terjadi. Beliau mengungkapkan bahwa ulama di Suriah terbagi menjadi beberapa kelompok. Diantaranya ada ulama yang pro terhadap pemerintah, namun ada juga beberapa ulama’ yang vokal menyuarakan kedholiman yang terjadi. Tetapi kelompok kedua ini mendapatkan ancaman dengan dijebloskan ke penjara atau keluarganya ditangkap dan dibunuh. Sehingga ada beberapa ulama’ yang tidak berani berbicara meskipun mereka mengetahui yang sebenarnya.
Juga ada pertanyaan tentang bagaimana peran Liga Arab dalam masalah ini. Beliau menyayangkan bahwa Liga Arab sendiri belum bisa berbuat banyak. Mereka memang telah mengirimkan beberapa delegasi ke Suriah untuk melakukan penyelidikan. Namun pemerintah Suriah berusaha untuk menutupi kenyataan dengan menjamu mereka dengan berbagai macam fasilitas agar mereka tutup mulut. Dan cara yang mereka lakukan nampaknya cukup berhasil, kecuali ada seorang utusan dari Aljazair yang berani angkat bicara meskipun dia harus diusir. Dia mengungkapkan bahwa di Suriah tidak ada kelompok sipil bersenjata, yang ada hanyalah kedholiman yang dilakukan pemerintah dan kedholiman serta kedholiman. Dan dibalik pemerintah tersebut ada Israel yang tidak mengizinkan apa yang mereka lakukan.
Namun Pertanyaan besar yang patut kita pertanyakan adalah apa yang bisa kita lakukan untuk membantu saudara-saudara kita di Suriah? Beliau mengatakan bahwa kita memiliki sebuah senjata ampuh yang bisa kita gunakan untuk membantu mereka, di antaranya adalah dengan senjata do’a pada shalat di sepertiga malam terakhir.
Di akhir muhadhoroh beliau mengungkapkan bahwa cukuplah Allah menjadi penolong orang-orang yang beriman. “Karena meskipun para manusia tidak mempedulikan kami, kami yakin bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan kami....”. Beliau juga mengungkapkan terima kasih kepada semua peserta yang menghadiri acara tersebut, terutama kepada panitia dan organisasi yang mengadakan acara ini. Dan beliau juga meminta kepada semua yang hadir untuk mendo’akan penduduk Suriah agar selalu mendapatkan pertolongan dan petunjuk dari Allah, karena sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat. (taj nashr/as-shohwah)