"Mak!! Aji mau terbang mak...."
"Terbang kemana, anakku?"
"Terbang jauh mak!! Jauh sekali....." Aku dengan bersemangat berkata pada mamaku. mamak yang sedang menambal pakaianku yang robek pagi tadi. Tambalan yang kelima. Hanya tersenyum. Dia maklum bila aku sering seperti itu. Dia sudah hapal kapan aku akan berkata yang aneh-aneh.
"Kau serius, sayang?" mamak menoleh kepadaku sambil tersenyum. Senyumnya indah sekali. Indaaah sekali, ouh.. itulah motivasi terbesarku.
"Serius, mak! Aku ingin terbang ke belanda. Katanya disana banyak bunga tulipnya, aku ingin memetiknya untuk mamak. Kata orang-orang juga disana ada kincir angin yang besar. Aku ingin hadiahkan satu untuk mamak... biar mamak tak kepanasan bila menganyam tikar diberanda rumah"
Mamak tersenyum lagi. Sejurus kemudian dia mengelus kepalaku membelai rambutku. Matanya menatap jauh kedalam mataku. Dia seakan melihat sesuatu disana... cita-cita yang sedang terbakar merah.
"Terbanglah engkau sayang..."
****
Seperti biasanya. Beliau tak pernah mematahkan semangatku. Beliau selalu melambungkan anganku. Aku selalu terbang jauh karena suntikan semangatnya. Aku selalu mengepakan mimpi menuju surga yang indah. Terbang ketaman-taman para raja terdahulu. Memetik bunga ditaman-taman kota Andalusia, di taman gantung Babilonia..
Karena semangat itu pula aku selalu rajin sekolah. Bahkan aku tak pernah malu dengan penampilanku. Bajuku yang tertambal lima lapispun kuanggap baju kebesaran yang tak kalah mode. Pisang yang selalu kujinjing kesekolah tak kalah penting dengan tasku yang tak boleh ketinggalan. Sepatuku, dasiku, celanaku dan alat-alat sekolahku sebenarnya sudah tak layak pakai lagi. Tapi, bagiku itulah hal yang paling berharga dalam aksi terbang ini.
Sebulan lagi aku akan tamat sekolah Madrasah Aliah. Segala rasa sedang memenuhi dadaku. Sulit kuartikan apa yang bergolak. Aku akan segera meninggalkan sekolah tercinta ini. Aku akan tamat.
"Mak!! Aku mau tamat. Tinggal menunggu Ijazahku saja" mamaku melempar senyumnya padaku dan kulihat matanya berkaca. Aku tahu kalau mamaku terharu. Aku tahu kalau mamaku bangga. Tapi ada yang tersembunyi dari raut wajahnya itu.
"Lunaskah sudah segalanya, sayang?"
"Mmmmm.. Insya Allah mak!"
"Besarkah sisanya?"
"Tidak terlalu besar mak, hanya dua bulan tunggakan dan yang lainnya" kataku sambil melempar senyum optimis pada ibuku. Aku yakin Tuhan pasti akan menolong hamba-hambanya yang butuh pertolongan.
Bagiku, optimis sudahlah cukup buat semangat menjalani segalanya. mamak yang mengajarinya. Bisalah dibilang, modal hidup kami adalah optimis dan berbaik sangka. Walau tak ada yang disangka. Walau tak ada isi perut. Kami berdua selalu optimis dapat makan sambil menyusuri tepi sungai didesa ini. Berharap mendapat ikan dan sayur-sayuran.
Mamak orang yang tegar. Wajahnya lembut, matanya sayu karena selalu mengadu pada tuhan. Tapi jiwanya tegar setegar karang. Kurasa aku mewarisi sikapnya itu. Tapi, tak jarang juga aku menangis tersedu dipangkuan mamak. Dan terkadang aku juga mendapati mamaku menangis didalam kamarnya. Bila dia tahu aku mengintip, segera diusapnya air matanya dengan mukenanya dan melempar senyum yang manis untukku. Laksana seorang dramawan, tak bisa kutangkap guratan tangis pada wajahnya saat dia tersenyum. Itulah mungkin sebabnya orang-orang tak tahu kalau mamak suka menangis. Ah... tegarnya jiwamu, mak!
Aku tahu malang yang sudah menimpa mamaku saat mamak berada didalam kandungan. Neneku, menurut cerita tetua kampungku ini, meninggal saat melahirkan mamak. Sementara kekek, ketika nenek mengandung mamak dua bulan, meninggal terlebih dahulu karena diserang wabah yang kami tak tahu apa namanya. Tinggallah mamak yang terlahir yatim dan piatu tanpa kedua orang tua. Dan dipelihara oleh dukun beranak yang membantu neneku saat melahirkan mamak.
Sedih rasa hatiku bila sesakali aku teringat akan cerita tetua kampung itu. Tapi apalah buat. Sudahlah dia bawaan taqdir. Tak dapat dihindar lagi.
Tapi, walaupun bagaimana semua terjadi. Mamak selalu membangkitkan semangatku. Tak pernah dia memperlihatkan raut sedihnya dihadapanku.
Dulu, ketika aku dilarang sekolah karena tidak melunasi uang SPP, tak sedikitpun tampak wajah khawatir dan sedihnya dihadapanku. mamak hanya berkata;
"Oh! Besok kamu boleh sekolah lagi, sayang!! Biaya yang harus dibayar cuma sejumlah itu? Sedikit sekali. Kenapa mamak sempat lupa ya?" selalu seperti itu. Seakan mamak melarangku menumbuhkan benih-benih pesimis muncul dan tumbuh dihatiku.
Dan sekarang, sekarang ini. Setelah semua onak dihalaman sekolah hampir terlalui. Aku berkata:
"Aku ingin terbang, mak!"
"Kemana, sayang?"
"Ke Mesir, mak! Aku ingin belajar agama disana. Aku ingin membawa sungai nil kesini. Pyramid bersama patung spinxnya. Aku ingin terbang mamak!"
"Kenapa tidak ke Belanda?"
"Ah, bukankah aku butuh agama, mak! Aku ingin mengenal negeri para Nabi"
"Oh, mulia nian cita-citamu anakku" aku tersenyum bangga dan senang seraya berlari kedapur dan membuatkan mamak segelas teh. Kelihatan mamak sedang haus. Bibir mamak yang selalu mengecup keningku itu kering.
Ingin aku bercerita kepada Yusuf temanku sepermainan dan senasib. Tentang sayap yang mulai terajut walau belum bisa terkepak.
"Aku akan terbang ke Mesir sup!"
Aku yakin dia akan menanggapi dengan takjubnya.
"Wow.. bagaimana mesir itu Ji? Pernahkah kau ke negeri itu? Dimanakah dia?"
Aku ingin mulutnya ternganga mendengar cita-citaku ini. Aku ingin rambutnya yang jingkrak karena jarang disisir itu terlonjak-lonjak laksana galah. dan itu terbukti saat aku menceritakanya padanya.
"Oh.. oh.. jauh sekali kau belajar. Ckk..ckk.ck..." decaknya kagum. Aku dengan bangga dan ceria berlari-lari mengelilinginya. Sambil mengepak-ngepakan tanganku. Serupa burung.
" Aku terbang , Sup! Terbang.."
"Aku ikut Ji!"
Ups.. kuhentikan langkahku. Kupandang wajah temanku itu lekat-lekat. Temanku yang paling setia sejagad ini. Dia akan ikut terbang bersamaku. Apa dia sedang bercanda?
"Apa yang kau katakan Sup?"
"Aku ikut!"
"Apa? Sekali lagi"
"Aku ikut terbang denganmu ke mesir!" tegasnya.
Air mataku menitik senang. Kupeluk temanku itu erat-erat. Saat kuceritakan kepada mamak, mamak kembali tersenyum. "mamak mendukung" begitu kira-kira arti senyuman itu. Atau "bangunlah cita-citamu anakku" walau dalam hatinya beliau mungkin cemas dengan cita-citaku yang tinggi itu.
*****
Dan disinilah awal cerita sebenarnya dimulai. Saat Bu Frida, wali kelasku mengumpulkan kami untuk perpisahan sekaligus pembagian Ijazah. Semua datang dengan raut wajah yang sulit ditebak. Senang bukan, sedih juga bukan. Entah apa namanya. Kurasa, wajah-wajah dengan ekspresi seperti itu hanya ada disini, dikelas ini.
Tapi, aku tidak. Aku datang dengan semangat kemenangan. Berjalan dengan roda impian. Dan hadir dengan tenaga senyuman. Senyuman mamak. Tak terbayangkan kebahagian mamak saat menerima ijazahku ini. Inilah jerih payahnya. Inilah hasil anyaman tikar. Inilah hasil dari mencuci pakaian orang-orang kaya itu dan pisang goreng yang digorengnya diatas belanga yang sudah lama usianya. ini wujudnya akan datang. Dan beliau akan tersenyum.
Tapi semua pupus saat Bu Frida menyita dan menahan Ijazahku dan Yusuf. Kami selalu malang. Bila pembagian Raport, kami selalu mengambilnya bila sebulan telah berlalu. Itupun setelah membayar semua yang harus kubayar.
Tinggal empat orang lagi didalam ruangan ini. Aku, Yusuf, Andi dan seorang gadis kurus yang bermuka keras. Bu Frida menghentikan pembagian. Itu membuatku tegang. Yusuf menekurkan wajahnya, melihat sandalnya yang butut. Mataku seperti akan berair....
Aku yakin, pasti ada yang mengganjal. Pastilah itu. Dan sampai kelas ini kosong, tak juga ijazahku dibagikan. Takpun terlihat ditangan Bu Frida, tak juga ada ditasnya, sepertinya. Ah, dia tidak bawa tas rupanya. Yusuf pucat mukanya. Tak tahan dia membuat susah mamak bapaknya lagi.
Bu Frida berdiri tegak. Kaca matanya melorot sedikit menutup bagian depan hidungnya. Matanya dingin tak dapat diartikan. Dia memandang teman-temanku satu persatu. Ketika pandanganya sampai berpapasan dengan wajahku, dia berhenti. Lama sekali dipandangnya aku. Sampai berkeringat dahiku. Lalu ditariknya napasnya dalam-dalam.
"Ikut saya ke kentor!" hanya itu perintah singkatnya.
****
Mamak kembali tersenyum. perih hatiku menceritakan ini kepada mamak. Tak sampai hatiku membuat mamak sengsara mencari uang tersebut. Tak tega hatiku melihat mamak mengiba pinjaman kepada pak Haji. Walaupun kadang diberi juga, tapi tak jarang didahului oleh omelan juga. Sedang kami bukanlah orang-orang yang hina. Hanya harta saja yang tiada ada.
Tapi, ah! Mamak senyum saja tanggapanya. Tegar saja pembawaanya. Kuat saja yang ditampakanya.
Dan aku, sejak ditahanya ijazah itu, tak berani aku berbicara cita-cita. Tak ingin aku melihat burung. Karena dia hanya mengingatkanku saja pada impianku, impian terbangku. Padahal sayapku belum sempurna lagi dirajut.
Begitu juga Yusuf. Setiap kali datang bertandang kerumahku, hanya kesedihan saja yang menjadi topik ceritanya. Hanya tetesan air mata saja yang dia bicarakan. Yang mamaknya sakitlah, bapaknya yang bekerja mati-matian, sehingga jarang dirumah melihat mamaknya. Dan tentang dia, tentu saja ratapan tentang Ijazahnya yang dia impikan.
Aku merasa, duniaku tak lagi bicara cita-cita dan impian. Aku hanya bisa bermimpi dan itupun datang sembunyi-sembunyi. Oh.... impian! Oh... cita-cita! Oh...oh... oh.... tidak berhakah orang-orang miskin bercita-cita? Hanya milik orang kayakah cita-cita itu?
Dan benarlah persangkaanku. Ketika kuikuti Mamak pergi saat hujan deras. Mamak menuju rumah Pak Haji. Hancur hatiku mendengar bentakan Pak haji. Sedih hatiku ketika Pak Haji menyebut-nyebut hutang mamak yang sudah banyak.
"selalu kamu bilang bayar! Dulupun kamu bilang bayar! tapi sampai sekarang kamu tak juga bayar. Saya tidak akan memberimu hutang lagi! Pergi dari sini!" kulihat mamak yang tertunduk terpekur. Aku tak tahu, apakah mamak menangis saat itu, karena sekujur tubuh mamak basah kuyup, sehelai daun pisang diatas kepalanya tak memberi banyak manfaat. Aku berlari menuju rumah agar tidak ketahuan mamak.
Sejak hari itu, mamak mengayam tikar lebih sering. Aku mencari ikan di sungai agar dapat membantu mamak melunasi Ijazahku. Dan masa itu musim penghujan. Aku tersiram hujam setiap harinya. Dan mamak mulai batuk-batuk. Hasil ikanpun tak layak untuk dijual. Hanya bisa untuk dimakan sendiri. Sementara tikar yang dianyam oleh mamak tak juga bagus lakunya. mamak kalah saing dengan penganyam yang lain belum tentu sehari terjual satu.
Mamak semakin kurus. Wajahnya sangat pucat. Bibirnya membiru. Dan sesekali dia terbatuk. Aku semakin cemas, saat suatu pagi mamak tak lagi bisa bangun. Aku harus membantu mamak mewudhukannya. Sebelum sholat subuh;
"hsss.... " desah mamak saat kubasuhkan wajah mamak yang pucat pasi. Terlihat sekali ada yang akan terjadi pagi ini. Saat mamak shalat, aku mondar-mandir ke dapur menyiapkan teh manis mamak, mencarikan mamak makanan. Tapi aku tak mendapatkan makanan, karena seharian kemarin aku tak mendapat ikan. Dan singkong dibelakang rumah sudah habis kami makan.
Kucari obat mamak. Tapi, ah, mamak tak pernah meminum obat selama ini. mamak biasanya selalu meminum obat-obatan yang dibuatnya sendiri. Saat aku kekamar mamak. Wajah mamak semakin pucat lagi. mamak melempar senyumnya kepadaku. Mamak menginginkanku mendekat kepadanya. Kuketahui dari caranya melihatku dan isyarat matanya. Matanya tetap saja sayu dari dulu.
Air mataku terburai. Pecah bendunganya saat kuketahui, bahkan mamak tak sanggup lagi mengeluarkan suaranya. Omonganya hanya mirip desisan-desisan saja. Tapi mamak tetap tersenyum. Kudekatkan telingaku. Aku yakin ada yang akan dikatakan mamak.
"anakku! Mamak sayang akan dikau!" begitu suara yang keluar dari mulut mamak. Terhenti darahku mendengar suara mamak yang seperti hadir dari alam yang lain.
"tetaplah terbang anakku, maafkan mamak tak bisa menemanimu terbang. Karena mamak akan terbang juga. Bersama malaikat yang sedang berada di ubun-ubun mamak" deras air mataku saat itu. Sunyi rasanya hatiku saat itu.
"jangan pesimis Aji. Kau akan bisa membayar uang Ijazahmu. Kemudian terbanglah sayang... bergantunglah kau pada sayap-sayap malaikat yang menaungimu selama kau dalam suci"
"sudah dekat masanya , sayang! mamak harus pergi. Utusan Tuhan sudah mengulurkan tanganya. Maafkan mamak. Tetaplah bergantung pada sayap-sayap itu bila kau keletihan terbang. Agar kau tak terhempas seperti mamak. Utusan itu tersenyum, sayang!"
"laa ilaaha illallah muhammadurrasulullah" mamak sudah pergi. Mamak sudah pergi. Mamak pergi dengan damai. Mamak.....
Hilang sudah tenagaku. Hilanglah sudah semangatku.
Kekecup wajah mamak yang memerah. Pipinya merah seperti dia masih saja hidup. Padahal tadi mukanya sangat pucat pasi.
*****
Sepeninggalan mamak. Aku tak bergairah lagi tinggal dikampung ini. Aku memutuskan untuk menjual tanah dan rumah warisan ayah diatasnya. Guna melunasi hutang-hutang mamak pada Pak Haji. Agar mamak tenang disana. Tanpa beban.
Dengan uang itu juga aku melunasi uang Ijazahku dan Ijazah Yusuf, temanku. Aku pergi. Aku akan terbang. Sesuai wasiat ibuku. Aku akan tetap terbang.
Aku juga akan tetap bergantung pada sayap-sayap malaikat. Aku akan melanjutkan pelajaranku. Aku akan terus belajar. Sesuai dengan wasiat mamakku. Kutinggalkan kampung ini. Agar aku tidak terus dirundung sedih. Menatap tikar mamak yang belum selesai. Membayangkan mamak yang tersenyum kepadaku. Membelai rambutku. Dan memangkuku sampai aku tertidur.
Yusuf yang mengetahui itu, segera datang. Dan kami dilepas oleh semua orang tetua kampung ini. Pak Haji juga ada disana. Kedua orang tua Yusuf menangis tak tertahan saat melepas kami.
"yakin kau akan ikut, sup?" yusup mengangguk.
"mereka hanya menangis. Tapi mereka juga ingin aku tetap berada dibawah sayap-sayap malaikat yang diridhoi Rabbnya. Mereka perintahkan aku untuk terbang"
Dan kampungkupun hilang oleh gemuruh halilintar dan hujan yang lebat saat kami melaju pergi.
Alhamdulillah.... Jum'at, 21 Maret 2008